Bagian Tiga
Sang Waktu
*
SUARA tembang Lir-ilir yang digubah oleh Sunan Kalijaga pada zaman kerajaan Jawa Islam, sebagai sarana dakwah/syiar agama Islam di pulau Jawa pada masa itu, oleh kelompok kesenian Kyai Kanjeng yang dipimpin oleh seniman & budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun), di aransemen ulang dengan nuansa yang lebih religius dan sakral.
Suara gamelan dan tembang Lir-ilir itu seperti ikut mengiringi langkah-langkah kedua kaki ku yang terus berjalan memasuki alam lain, alam yang begitu tenang dan belum pernah kumasuki sebelumnya.
Aku memasuki alam lain. Alam yang begitu berbeda sekali dari alam-alam yang pernah kudatangi sebelumnya. Di mana alam ini mampu membuatku sejenak melupakan semua hiruk pikuk dua ‘hashtag’ yang saat ini mulai menunjukkan adanya polarisasi pembagian kelompok masyarakat di luar sana.
Alam ini juga berbeda dari dunia lain. Dunia yang telah begitu banyak mengajariku tentang banyak hal, dunia yang aku tahu semua penghuni di dalamnya bisa berkomunikasi dengan semua bahasa. Dunia yang telah mengajariku untuk bisa mengerti bahasa rasa.
**
Belum berapa lama Aku dan Rasa Kantuk pergi meninggalkan dua orang sahabat lama yang sepertinya sudah lama tidak pernah bertemu itu, tiba-tiba Rasa Kantuk menghentikan langkahnya di depan seseorang yang mengenakan jubah panjang berwarna putih keperakan.
Dikeremangan cahaya, wajahnya tidak begitu terlihat jelas.
Disepertiga malam yang begitu tenang, kutatap seraut wajah yang sudah tidak begitu asing lagi buatku. Seraut wajah yang begitu dingin, datar dan tanpa rasa. Tidak kutemukan ada rasa sedih maupun gembira disitu.
Teringat pertemuanku dengan Sang Waktu beberapa waktu yang telah lalu.
**
Di malam yang begitu hening, angin bagaikan berhenti, air nyaris tak beriak. Kupandang langit yang cerah dan terlihat begitu indah.
Bintang-bintang seakan tersenyum sambil mengucapkan salam kepadaku.
Di bawah cahaya bulan yang bersinar terang, mataku menangkap sesosok wanita cantik dari kejauhan.
Sesosok wanita tinggi semampai yang mengenakan pakaian khas kerajaan dan mengenakan Mahkota kecil di kepalanya itu kulihat berdiri anggun, tersenyum menatap ke arahku.
Kubalas senyuman wanita cantik bertubuh molek yang mengenakan kemben itu. Kain batik berwarna hijau daun yang membalut tubuh moleknya itu terlihat begitu pas sekali di tubuhnya, di padan dengan perhiasan dan selendang berwarna hijau daun di bahunya. Wanita itu terlihat begitu cantik sekali dimataku.
Sejenak aku terdiam, kutatap Wanita Cantik yang kulihat sudah sangat dewasa, namun masih memancarkan aura kecantikan dan pesona yang luar biasa.
Sesaat ‘rasa’ ku tak terkendali ketika melihat wanita cantik bertubuh molek yang mengenakan kemben itu. Saat ini, aku sudah tidak perduli lagi dengan semua keadaan di sekelilingku, saat ini aku betul–betul menginginkannya.
Tanpa sadar, kedua kaki-ku melangkah, mendekat ke arahnya, namun belum seberapa jauh aku melangkah. Nun jauh di atas sana. tetiba kulihat, seberkas cahaya putih keperakan turun ke Bumi, malam begitu hening, angin bagaikan berhenti, air nyaris tak beriak.
Cahaya putih keperakan yang muncul dari balik rasi bintang itu berubah wujud menjadi sesosok manusia, dan sosok itu tiba-tiba saja sudah berdiri di depanku, menghadangi langkah kakiku yang ingin menghampiri wanita cantik bertubuh molek yang sudah berhasil mematik ‘rasa’ku.
Dibalik semburat cahaya sepertiga malam, Kutatap seraut wajah dingin, datar dan tanpa rasa milik Sang Waktu
“Siapa engkau?” tanyaku pada seseorang yang mengenakan jubah panjang berwarna putih keperakan di depanku itu.
“Aku adalah Sang Waktu.” jawabnya datar tanpa ekspresi.
Sosok yang mengenakan mengenakan jubah panjang berwarna putih keperakan itu melihat ke arah wanita cantik bertubuh molek yang sedari tadi melambai-lambai kan kedua tangannya memanggilku.
Sang Waktu berkata pelan,
“Belum waktunya engkau bersama wanita itu”
Lalu kembali melanjutkan ucapannya.
“Lihat lah orang-orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Tidakkah engkau mendengar? Suara serak, dan tangis saudaramu, akibat ulah segelintir saudara-saudaramu yang lainnya, saudara-saudaramu yang sedang mabuk kepayang kepada wanita itu, hingga memutuskan akal sehat mereka semua, sama seperti dirimu saat ini yang begitu ingin memilikinya.”
Sang Waktu menunjuk ke arah suatu kota, Gedung-gedung yang menjulang tinggi terlihat begitu indah disana.
Diantara hingar bingar kehidupan malam, kulihat beberapa anak manusia sedang berpesta pora. sambil melihat ke arah gedung-gedung yang menjulang tinggi, Sang Waktu kembali melanjutkan ucapannya.
“Lihatlah tampang angkuh dan pongah orang-orang yang telah gila karenanya. Lihatlah mereka-mereka yang saat ini sedang tertawa terbahak-bahak di atas penderitaan manusia lainnya.”
Diam sejenak, Sang Waktu kembali menunjuk ke arah belahan Bumi lainnya.
“Lihatlah mereka-mereka yang kini sedang meratap dan menangis pilu, akibat ulah sebagian manusia yang merasa berkuasa, dan merasa lebih pantas untuk menindas sesamanya demi untuk mendapatkannya.”
Dibelahan bumi lainnya, saat ini kedua mataku melihat, dimana perbudakan, pembunuhan dan perdagangan manusia terjadi dimana-mana.
Berdiri diantara keduanya, Aku terdiam
Saat ini aku melihat dua pemandangan yang berbeda di hadapanku. Dan aku berdiri di antara keduanya. Saat ini aku bagaikan berdiri di antara siang dan malam. Kutatap wajah Sang Waktu, sekali lagi. Tidak kutemukan ada rasa sedih maupun gembira di sana, begitu dingin, datar dan tanpa rasa melihat semuanya.
Dari balik jubah Sang Waktu. Aku terus mencoba untuk mencuri-curi pandang ke arah wanita cantik bertubuh molek yang mengenakan kemben itu.
Di semburat cahaya sepertiga malam, wanita cantik yang mengenakan perhiasan dan selendang warna hijau daun di bahunya itu tersenyum dan terus melambaikan tangannya ke arahku.
Sang Waktu menatap kedua mataku. Seperti mengetahui isi kepalaku. Sambil melirik ke arah wanita cantik di belakangnya, dia kembali berkata
“Engkau ingin tahu siapa wanita itu?”
***
SAYUP-SAYUP, telingaku masih mendengar suara tembang Lir-ilir yang dibawakan oleh MH. Ainun Najib bersama kyai kanjengnya itu, dan saat ini, kedua telingaku itu sepertinya terlalu lemah untuk dapat menangkap suara halus pembicaraan antara Rasa kantuk dan Sang Waktu yang berada di depanku.
Entah apa yang mereka bicarakan berdua sedari tadi, yang jelas saat ini
Sang Waktu mengajakku untuk ikut bersamanya.
Kutatap rasa kantuk yang cuma mengangkat kedua bahunya, seolah-olah berkata padaku “Terserah” karena keputusan untuk ikut dengannya atau mengikuti Sang Waktu saat ini ada ditanganku.
Akhirnya kuputuskan untuk mengikuti Sang Waktu, setengah berlari, kucoba iringi langkah Sang Waktu yang terus berjalan cepat.
Aku dan sang waktu menyusuri lorong panjang yang ujungnya entah di mana.
Bersambung
Catatan : Cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan Foto, nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan, ini adalah rangkaian cerita bersambung Aku dan Sang Waktu yang sudah pernah tayang di kompasiana dan tayang kembali di sini adalah semata-mata untuk merawat cerita.
- Sang Waktu - 30 April 2022
- Semprul dan Wanita Malam - 8 Maret 2020
Semoga Sang Waktu selalu bersama kita, kisah yang sangat dalam. Malam begitu hening, angin seperti berhenti dan air nyaris tak beriak 👍👍👍 malam seribu bulan 🌕kisah yang sangat inspiratif dan terimakasih mas sudah berbagi tulisan 🙏🙏🤗
Aamiin, terimakasih sudah berkenan untuk membaca kembali di tempat ini, ini hanyalah salah satu cara untuk merawat cerita, agar tetap ada😊🙏
Betul sekali