, ,

Hujan, September dan Secangkir Kopi

oleh -298 views
Hujan, September dan Secangkir Kopi
Hujan, September dan Secangkir Kopi

*

Apakah engkau tau? Bahwa di antara tetesan air hujan yang turun di bulan ini, rasa mu seakan tiada henti-hentinya menyebut dan memanggil-manggil namaku.

www.domainesia.com

Di depan secangkir kopi susu, tumpukan buku dan layar laptop yang masih menyala, perlahan tapi pasti rasa ku terus berjalan, meninggalkan tumpukan kertas yang masih berserakan di atas Meja kerja. Tanpa melihat ke belakang, Aku terus berjalan, memasuki Lorong waktu. Dalam rasa letih yang tak tertahankan, sejenak rasa ku ingin rehat dalam dekapanmu.

**

Aku berhenti di suatu waktu, tempat dimana dahulu kita selalu bertemu, tempat dimana engkau selalu menyeduhkan secangkir kopi susu untukku.

Di depan secangkir kopi susu yang masih mengepulkan asapnya, di antara derasnya air hujan yang turun membasahi Bumi, kita sesap kehangatan secangkir kopi susu.

Di ujung sana, alunan nada lagu Faded milik Alan Walker terdengar pelan dari suatu dunia yang menjadi pembatas antara dunia nyata dan dunia maya.

Sesekali Engkau menatap ke arah Laptop yang masih menyala di antara tumpukan kertas yang masih berserakan di atas Meja.

Sambil tersenyum ke arahku, engkau berkata,

“Apakah engkau masih ingat? Di tempat itu dulu Aku pertama kali mengenalmu dan di tempat itu pula akhirnya Aku tau, bahwa ternyata engkau benar-benar mencintaiku.”

“Tentu saja Aku masih ingat,”

“Kenapa beberapa waktu ini engkau jarang sekali menemuiku? Apakah engkau sedang berusaha menjauhiku?”

Engkau bertanya sambil menatap lurus kedua bola mataku, dari tatapanmu aku bisa merasakan bahwa engkau ingin sekali masuk ke alam pikiranku, untuk membaca isi hatiku.

“Tidak,” jawabku pelan sambil menatap dalam-dalam kedua bola mata mu.

Aku hanya mampu menghela nafas saat kembali menatap Lembaran-lembaran kertas yang masih berserakan di atas Meja sana. Sambil berkenyit, sesekali kupijit perlahan pelipisku untuk meredakan rasa pusing yang sudah beberapa hari ini seperti memuku-mukul dengan keras kepalaku.

“Baiklah, jika engkau belum ingin menjawabnya sekarang tidak mengapa, Aku akan tetap setia menunggu jawabanmu,”

“Aku mencintaimu,”

“Aku tau, tapi kenapa sekarang engkau sudah jarang sekali menemuiku di tempat ini?”

Ungkapan rasa cintaku barusan membuatmu kembali menuntut jawaban dariku, tentang pertanyaanmu yang sempat merasa terabaikan olehku.

Di hadapan secangkir kopi susu, kugenggam erat jemarimu. Di antara air hujan yang turun di bulan September Aku kembali berkata pelan,

“Aku mencintaimu,”

“Demi September yang akan selalu menurunkan air hujan dan juga di hadapan secangkir kopi susu yang selalu mampu menciptakan kehangatan dan menyatukan Engkau dan Aku. Aku mohon jangan pernah tinggalkan Aku, sebab Aku begitu mencintaimu.”

Tentang Penulis: Warkasa 1919

Gambar Gravatar
Ruang Berbagi & Informasi